
Masyarakat Aktif Dilibatkan Dalam Pembangunan Fasilitas Ekowisata Pulau Padar
JAKARTA – Rencana pembangunan fasilitas ekowisata di Pulau Padar, Taman Nasional Komodo (TNK), tengah menjadi sorotan publik. Di tengah kekhawatiran akan dampak lingkungan, pemerintah menegaskan bahwa konservasi tetap menjadi prioritas, dengan tata kelola yang ketat, teknologi pengawasan, dan pelibatan aktif masyarakat setempat.
Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni menegaskan setiap pemanfaatan Pulau Padar harus tunduk pada prinsip kehati-hatian ekologis. Pembangunan, jika dilakukan, hanya dimungkinkan di zona pemanfaatan terbatas, dengan kuota pengunjung sesuai daya dukung. Infrastruktur yang diizinkan akan bersifat non-permanen dan dapat dipindahkan agar tidak merusak ekosistem.
“Pulau Padar akan aman karena prosesnya melalui kajian dampak lingkungan mendalam, termasuk pelibatan UNESCO,” ujarnya.
PT Komodo Wildlife Ecotourism (KWE), pemegang izin pemanfaatan sejak 2014, kini berada dalam proses Environmental Impact Assessment (EIA) yang melibatkan pemerintah daerah, pelaku pariwisata, LSM, dan warga lokal. Dalam forum konsultasi publik di Labuan Bajo, sejumlah pihak menyoroti pentingnya kontribusi nyata bagi Kabupaten Manggarai Barat.
Pengurus Badan Peduli Taman Nasional Komodo (BPTNK), P. Marsel Agot dan Ludgerius Minus, menilai pengelolaan sebagian Pulau Padar belum memberi dampak signifikan bagi daerah. Mereka mendesak adanya skema bagi hasil yang lebih adil melalui Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) maupun kontribusi langsung ke masyarakat.
“Manggarai Barat berhak mendapat porsi lebih besar karena TNK memberikan pendapatan terbesar dibanding taman nasional lain,” tegas Pater Marsel.
Merespons hal ini, Kepala Subdirektorat Pemanfaatan Jasa Lingkungan Wisata Alam, Dr. Johan Setiawan, mengungkapkan bahwa pemerintah tengah menyiapkan regulasi baru yang memberi ruang lebih besar bagi kontribusi langsung ke daerah.
Dari sisi teknis, Peneliti BRIN Destika Cahyana menekankan dua hal penting: status lahan harus sesuai aturan, dan pelibatan formal masyarakat harus menjadi syarat. Ia mendorong pembentukan wadah seperti koperasi atau BUMDes agar warga menjadi mitra strategis, bukan sekadar penonton. Proporsi ruang hijau terhadap bangunan juga harus dijaga untuk mencegah erosi dan menjaga kualitas laut.
Pemerintah menegaskan, model ekowisata di Pulau Padar akan mengedepankan benefit-sharing, yaitu pembagian manfaat yang adil antara pengelola dan masyarakat. Skema yang dirancang mencakup kemitraan formal dengan koperasi desa, kuota keterlibatan pemandu lokal, dan penggunaan layanan logistik dari penyedia setempat.
Dengan kerangka kebijakan ini, konservasi tetap menjadi tujuan utama, ekowisata menjadi alat, masyarakat menjadi subjek, dan ilmu pengetahuan menjadi kompas. Melalui pengawasan ketat, keterlibatan aktif warga, dan indikator keberhasilan yang mengukur aspek ekologis sekaligus sosial-ekonomi, pemerintah optimistis Pulau Padar dapat dikelola secara berkelanjutan.
Antoni menambahkan warisan dunia seperti Komodo dan lanskap Pulau Padar, harus dijaga dengan kewaspadaan cerdas—bukan ketakutan total.
“Menjaga bukan berarti mengurung, tetapi mengajari manusia hidup selaras dalam batas-batas ekologisnya,” pungkasnya.
(*/rls)
Post Comment