
Mengapresiasi MBG Mampu Hadirkan Efek Positif Ke Masyarakat
Oleh : Aulia Rachman
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digulirkan pemerintah sejak 6 Januari 2025 bukan sekadar program bantuan pangan biasa, melainkan sebuah langkah strategis yang menyentuh banyak aspek kehidupan masyarakat—gizi, pendidikan, ekonomi lokal, kesejahteraan petani dan UMKM, hingga harapan untuk mewujudkan Indonesia Emas 2045. Keberadaan MBG telah membawa angin segar dalam kondisi sosial-ekonomi, terutama di tengah tantangan global dan domestik yang tidak sedikit. Multiplier effect atau efek pengganda yang dihasilkan oleh program ini layak mendapat apresiasi nyata karena berbagai lapisan masyarakat merasakannya secara langsung dan berkelanjutan.
Menteri Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), Maman Abdurrahman mengatakan Program MBG bukan hanya berdampak bagi anak-anak, tetapi juga bagi ibu-ibu dan masyarakat luas. Dengan adanya program ini, di setiap desa akan terjadi perputaran ekonomi, yang akan menggerakkan roda ekonomi di seluruh Indonesia
Sejak peluncuran, MBG telah menjangkau jutaan penerima manfaat. Berdasarkan data resmi Badan Gizi Nasional (BGN), dalam 6,5 bulan setelah peluncuran secara nasional, program ini sudah melayani lebih dari 6,2 juta orang di seluruh Indonesia, melalui ribuan Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) yang tersebar di berbagai provinsi. Jumlah titik layanan terus bertambah—per 22 Juni 2025 saja sudah beroperasi 1.837 SPPG, hampir di seluruh provinsi. Targetnya pun ambisius: hingga November 2025 diproyeksikan mencapai 82,9 juta penerima manfaat dengan puluhan ribu SPPG.
Dari sisi gizi dan kualitas hidup, MBG menjadi jawaban atas isu malnutrisidan stunting yang selama ini menjadi beban struktural di Indonesia. Program ini telah menyasar kelompok rentan seperti anak sekolah PAUD hingga SMA, ibu hamil, ibu menyusui, dan balita. Dengan asupan gizi yang lebih baik, anak-anak memiliki peluang lebih besar untuk tumbuh sehat fisik dan kognitifnya, yang pada gilirannya akan meningkatkan performa belajar dan potensi produktivitas mereka di masa depan. Namun lebih dari itu, dampak MBG tidak berhenti pada sisi gizi—ia merembet jauh ke ranah ekonomi dan sosial.
Ekonomi lokal merasakan efek pengganda MBG dalam berbagai bentuk. UMKM, petani, peternak, penyedia bahan baku, pengelola dapur di SPPG, tenaga kerja transportasi, dan berbagai pihak jasa penunjang terlibat dalam rantai pasokan MBG. Misalnya, pemerintah mendorong penggunaan bahan baku pangan lokal dalam program ini. Hampir sebagian terbesar dari bahan pangan yang digunakan oleh SPPG dialokasikan dari sektor pertanian dalam negeri.
Angka-angka ekonomi juga menggambarkan betapa besar multiplier effect-nya. Sebagai ilustrasi, dari anggaran yang sudah digelontorkan—sekitar Rp 8,2 triliun—dilaporkan bahwa perputaran ekonomi di masyarakat meningkat hingga sekitar Rp 46 triliun. Pemerintah maupun para analis menyebut bahwa pembelanjaan publik melalui MBG berdampak pada penyerapan tenaga kerja, pertumbuhan upah, dan peningkatan perekonomian lokal, terutama ketika eksekusi dilakukan dengan melibatkan komunitas lokal, penyedia bahan pangan lokal, dan UMKM.
Dampak ekonomi itu pula yang membuat pemerintah optimis bahwa MBGakan turut menyumbang pada pertumbuhan ekonomi nasional. Beberapa laporan menyebut estimasi bahwa program ini bisa memberikan kontribusi pada pertumbuhan produk domestik bruto (PDB), menyerap tenaga kerja, dan meningkatkan upah. Bahkan Menteri Koperasi dan UMKM serta pejabat daerah telah menyatakan bahwa MBG bukan hanya memberikan asupan gizi, tapi juga menjadi instrumen pemberdayaan ekonomi rakyat—dengan membuka peluang usaha baru dan memperkuat ekonomi desa.
Kepala BGN Dadan Hindayana menegaskan, multiplier effect MBG menjadi bukti bahwa program ini tidak sekadar intervensi gizi, melainkan juga pilar strategis menuju swasembada dan ketahanan pangan nasional.
Apresiasi terhadap MBG juga tumplek dalam sikap kepemimpinan di tingkat pusat. Presiden Prabowo Subianto menyebut bahwa MBG adalah investasi jangka panjang, bukan hanya soal memberi makan, tetapi membangun generasi berkualitas dan mengurangi kemiskinan. Dalam Sidang Kabinet Paripurna dan berbagai kesempatan, beliau menekankan bahwa suksesnya MBG akan terlihat apabila target besar—seperti 82,9 juta penerima manfaat—tercapai dengan kualitas penyelenggaraan yang baik: kebersihan, keamanan, dan kecukupan gizi.
Apresiasi terhadap MBG tidak hanya berasal dari pemerintah atau kalangan analis ekonomi, tapi juga dari pelaku langsung. Peternak sapi yang merasakan perubahan harga, pelaku UMKM yang mendapat pesanan tetap, ibu-ibu dapur yang memperoleh penghasilan, serta anak-anak yang merasakan manfaat gizi dan konsentrasi belajar yang lebih baik—semuanya menjadi saksi hidup efek pengganda MBG. Apresiasi ini muncul karena MBG bukan hanya “program makan gratis”; ia adalah penggerak ekonomi rakyat, penyemangat usaha lokal, dan penopang kesejahteraan.
Dengan demikian, efek pengganda MBG akan terus meluas—tidak hanya dalam tingkatan ekonomi mikro, tetapi menyasar perubahan struktur yang lebih makro: pengentasan kemiskinan, peningkatan kualitas SDM, ketahanan pangan, dan pemerataan ekonomi.
Kesimpulannya, MBG layak menerima apresiasi karena program ini mampu menggerakkan multiplier effect ke masyarakat secara nyata. Dari sisi gizi, dari ekonomi lokal, dari pemberdayaan usaha kecil, hingga pembangunan sumber daya manusia, MBG menunjukkan bahwa intervensi publik yang dirancang dengan baik bisa menciptakan dampak luas dan berkelanjutan. Dengan perhatian yang terus menerus dan kerja sama semua pihak, apa yang diharapkan—Indonesia yang lebih sehat, lebih mandiri, dan lebih sejahtera—bisa tercapai melalui langkah nyata seperti MBG.
)* Pengamat Kebijakan Publik
Post Comment