×

Penetapan Gelar Pahlawan Soeharto Didukung Banyak Tokoh, Publik Diminta Hindari Polemik Berlarut

Oleh: Juana Syahril)*

Keputusan pemerintah menetapkan Presiden ke-2 Republik Indonesia, Soeharto, sebagai Pahlawan Nasional melalui Keppres Nomor 116/TK/Tahun 2025 bertepatan dengan Hari Pahlawan 10 November 2025 telah memunculkan beragam reaksi publik. Sejumlah pihak menyampaikan keberatan melalui aksi demonstrasi, sementara sebagian lainnya memberikan dukungan penuh atas keputusan tersebut. Di tengah dinamika itu, pemerintah menegaskan bahwa penetapan gelar telah dilakukan melalui mekanisme resmi, objektif, dan terukur, sehingga aksi protes bukanlah solusi ideal untuk merespons keputusan kenegaraan yang telah melewati proses berjenjang.

Pandangan positif terhadap keputusan ini turut disampaikan oleh Ketua DPD Golkar DKI Jakarta, Ahmed Zaki Iskandar, mengatakan bahwa gelar tersebut merupakan pengakuan negara atas jasa besar Mantan Presiden ke-2 RI Soeharto. Menurutnya, setiap tokoh bangsa tentu memiliki kelebihan dan kekurangan, namun dalam konteks penilaian sejarah, kontribusi Soeharto terhadap pembangunan nasional tidak dapat diabaikan. Zaki memandang bahwa pemerintah telah menjalankan tugasnya secara prosedural, sehingga masyarakat sebaiknya menerima keputusan tersebut dengan bijak.

Dalam penilaiannya, Ahmed Zaki Iskandar menekankan bahwa Soeharto merupakan figur yang memiliki peran signifikan dalam membangun fondasi ekonomi, infrastruktur, serta stabilitas nasional pada masa pemerintahannya. Ia melihat bahwa keberhasilan Indonesia menjadi salah satu negara yang disegani di Asia pada era tersebut merupakan bukti nyata dari strategi kepemimpinan Soeharto. Dengan demikian, gelar Pahlawan Nasional dipandang sebagai wujud penghormatan negara terhadap upaya besar seorang pemimpin dalam membangun bangsa.

Zaki juga menyoroti pentingnya melihat sosok Soeharto secara utuh, bukan hanya dari sisi-sisi yang dianggap kontroversial. Ia mengajak masyarakat untuk memahami bahwa sejarah bangsa disusun oleh perjalanan panjang dan kontribusi berbagai tokoh yang memiliki peran masing-masing. Dengan perspektif demikian, aksi demonstrasi dinilai bukanlah jawaban yang dapat menyelesaikan perbedaan pendapat, terutama ketika keputusan telah ditetapkan melalui mekanisme resmi negara.

Dalam kesempatan terpisah, Zaki menyinggung sikap positif yang ditunjukkan oleh mantan Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan, Mahfud MD, yang juga memahami bahwa penetapan gelar pahlawan dilakukan melalui proses yang sah. Dukungan dari tokoh berpengaruh seperti Mahfud menjadi sinyal bahwa penilaian terhadap jasa Soeharto bukan sekadar pandangan subjektif, melainkan berdasarkan pertimbangan historis dan administratif yang telah dikaji oleh berbagai pihak.

Seiring polemik yang berkembang, suara dukungan juga datang dari tokoh nasional lainnya, yaitu Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 RI, Jusuf Kalla. Dengan pengalamannya memimpin pemerintahan, Jusuf Kalla menegaskan bahwa perdebatan mengenai penetapan gelar pahlawan semestinya diakhiri setelah pemerintah meresmikannya. Menurutnya, mekanisme penilaian telah berjalan sesuai prosedur, sehingga keputusan negara harus dihormati sebagai bentuk kedewasaan berdemokrasi.

Jusuf Kalla memandang bahwa Mantan Presiden ke-2 RI Soeharto memiliki banyak jasa penting, terutama dalam menjaga stabilitas negara dan mendorong pembangunan nasional. Ia mengakui bahwa tidak ada pemimpin yang sempurna, namun jasa yang diberikan Soeharto bagi Indonesia dinilai lebih besar dibandingkan kekurangannya. Pandangan ini memperkuat legitimasi moral terhadap keputusan yang telah ditetapkan pemerintah.

Di tengah dinamika ini, pesan utama yang ingin ditekankan pemerintah serta para tokoh nasional adalah pentingnya memahami bahwa demokrasi tidak hanya diartikan melalui aksi demonstrasi. Penyampaian pendapat memang merupakan hak konstitusional, namun tidak selalu menjadi solusi paling ideal dalam merespons keputusan strategis negara yang telah melalui proses objektif. Dialog, diskusi akademik, serta partisipasi dalam mekanisme demokrasi formal dinilai jauh lebih konstruktif dibandingkan aksi massa.

Pemerintah menekankan bahwa gelar Pahlawan Nasional tidak diberikan secara tiba-tiba. Prosesnya melibatkan kajian sejarah oleh para ahli, penilaian dari Kementerian Sosial, serta rekomendasi dari Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan. Dengan rangkaian panjang tersebut, keputusan akhir hanya diambil setelah seluruh kriteria terpenuhi. Oleh karena itu, keputusan ini seharusnya dipandang sebagai langkah negara dalam menjaga memori kolektif bangsa terhadap sosok yang dinilai memiliki kontribusi besar.

Dalam konteks menjaga ketertiban dan persatuan nasional, aksi demonstrasi justru berpotensi memunculkan gesekan sosial yang tidak produktif. Pemerintah menyampaikan bahwa setiap aspirasi tetap bisa disampaikan melalui jalur yang lebih efektif dan sesuai etika demokrasi. Dengan demikian, masyarakat diharapkan mengedepankan sikap saling menghargai dan memahami bahwa keputusan negara dibuat untuk kepentingan menjaga warisan sejarah bangsa.

Penetapan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional bukan hanya penghargaan terhadap seorang tokoh, tetapi juga momentum untuk mengingat kontribusi besar terhadap pembangunan Indonesia. Dukungan tersebut menunjukkan bahwa keputusan ini memiliki landasan kuat, baik secara historis maupun administratif. Dengan menghormati mekanisme yang telah ditempuh, bangsa Indonesia dapat melangkah lebih maju tanpa terjebak dalam perdebatan berlarut.

Pada akhirnya, persatuan dan pemahaman terhadap proses demokrasi menjadi kunci. Demo bukanlah jawaban solusi ideal. Yang jauh lebih penting adalah menjaga stabilitas, memahami konteks sejarah, dan menghormati keputusan negara demi kepentingan bersama..

)* Penulis adalah Mahasiswa Bogor tinggal di Jakarta

Post Comment