
Program Bansos Pemerintah Menjangkau Mama-Mama di Pelosok Papua
Oleh: Sylvia Mote *)
Di tengah tantangan pembangunan yang kompleks di Papua, pemerintah terus memperlihatkan komitmen nyata dalam memastikan bahwa setiap kelompok masyarakat, sekecil apapun jumlahnya, tetap mendapatkan perhatian yang layak. Salah satu wujud konkret dari komitmen ini tampak dalam penyaluran bantuan sosial (bansos) yang dilakukan Pemerintah Kabupaten Jayawijaya melalui Dinas Sosial, menyasar kelompok rentan di sejumlah distrik dan komunitas adat.
Langkah ini tidak hanya menjadi bagian dari agenda besar penguatan ketahanan sosial dan pangan, tetapi juga mencerminkan kesungguhan pemerintah dalam merawat nilai-nilai kemanusiaan yang inklusif. Di Jayawijaya, perhatian tersebut diwujudkan dalam bentuk sederhana namun penuh makna, sekarung beras yang diserahkan kepada para lansia dari Suku Mee yang tersisa di Wamena. Momen ini mengingatkan bahwa kehadiran negara harus terasa hingga ke pelosok, tanpa memandang batasan jumlah maupun asal-usul suku.
Para mama-mama perintis dari Suku Mee, yang selama ini hidup dalam keterbatasan, menerima bantuan dengan penuh haru. Tangkapan layar dari peristiwa itu beredar luas di kalangan warga Papua, menjadi representasi bahwa kebijakan pemerintah benar-benar berpijak pada prinsip keadilan sosial bagi seluruh rakyat.
Tokoh Muda Suku Mee, Yosua Douw yang juga menjabat sebagai Sekretaris Daerah Tolikara, bantuan yang diterima oleh orang tua Suku Mee lebih dari sekadar pemenuhan kebutuhan pangan. Dirinya melihatnya bantuan itu sebagai bentuk penghargaan terhadap eksistensi dan kontribusi masyarakat Mee di Tanah Papua. Bagi Yosua, perhatian ini mencerminkan semangat kemanusiaan yang bisa menjadi fondasi bagi seluruh kebijakan pembangunan, khususnya di daerah-daerah dengan kompleksitas sosial yang tinggi seperti Papua.
Penyaluran bansos kepada komunitas Mee di Wamena memang hanya mencakup segelintir orang, namun dampaknya jauh melampaui hitungan statistik. Tindakan ini mempertegas bahwa kebijakan pemerintah tidak semata-mata berbasis angka dan data makro, tetapi juga mempertimbangkan dimensi kemanusiaan yang lebih mendalam. Keadilan sosial yang selama ini menjadi cita-cita pembangunan diwujudkan melalui tindakan-tindakan nyata, yang menyentuh langsung kehidupan masyarakat di lapisan terbawah.
Upaya serupa juga dilaksanakan di tiga distrik lainnya, yakni Wosi, Kurulu, dan Wedangku, di mana pemerintah menyalurkan dana bantuan sosial dengan pendekatan yang transparan dan partisipatif. Kepala Bidang Bantuan Sosial Dinas Sosial Jayawijaya, Beni Asso, menegaskan bahwa seluruh proses penyaluran bansos dilakukan sesuai instruksi Bupati dan Wakil Bupati agar benar-benar tepat sasaran. Pemerintah memastikan dana yang disalurkan menyentuh masyarakat akar rumput hingga ke tingkat kampung secara merata.
Pendekatan partisipatif yang diterapkan dalam penyaluran ini menjadi elemen penting dalam menjaga akuntabilitas program. Kepala Distrik Kurulu Jayawijaya, Natalis Surabut menginisiasi diskusi terbuka bersama tokoh masyarakat dan kepala desa sebelum bantuan didistribusikan. Langkah ini memastikan bahwa bantuan tidak hanya dibagi secara administratif, tetapi juga mengakomodasi masukan dari masyarakat setempat untuk menjaga ketepatan sasaran. Dalam proses tersebut, pendataan ulang berbasis KTP dan Kartu Keluarga (KK) juga didorong agar penyaluran bansos ke depan semakin tertib dan akurat.
Melalui kebijakan ini, Pemerintah Kabupaten Jayawijaya tidak sekadar menyalurkan bantuan, melainkan menguatkan fondasi sosial di tingkat komunitas. Bansos tidak lagi dipandang sebagai bentuk belas kasihan, melainkan sebagai instrumen strategis untuk memperkuat daya tahan masyarakat terhadap tekanan sosial-ekonomi, terutama di wilayah pedalaman. Dengan memastikan bahwa setiap kebijakan berpihak kepada kelompok rentan, pemerintah juga sedang merawat kepercayaan masyarakat terhadap negara.
Langkah nyata yang diambil Pemerintah Jayawijaya diharapkan mampu menjadi contoh bagi daerah lain dalam merancang dan menjalankan program-program sosial yang inklusif dan berdampak langsung. Di balik sekarung beras dan angka alokasi dana, tersimpan pesan moral yang kuat bahwa kehadiran negara harus dirasakan oleh setiap warga, terlepas dari seberapa kecil atau terpencil komunitas mereka.
Momentum ini sekaligus menegaskan bahwa kebijakan sosial di Papua tidak boleh terjebak dalam pola pikir berbasis populasi semata. Justru di daerah-daerah dengan populasi kecil dan tersebar seperti Papua, pendekatan berbasis empati dan pengakuan terhadap keunikan sosial-budaya menjadi sangat relevan. Pemerintah terus mengedepankan kebijakan yang tidak hanya efektif secara administratif, tetapi juga sensitif terhadap nilai-nilai lokal yang hidup di tengah masyarakat.
Kebijakan bansos yang dijalankan di Jayawijaya membuktikan bahwa perhatian terhadap kelompok rentan tidak selalu harus diwujudkan dalam skala besar dan seremonial. Sebaliknya, kebijakan yang bersentuhan langsung dengan kebutuhan konkret masyarakat, meski sederhana, mampu membangun ikatan emosional yang kuat antara pemerintah dan masyarakat.
Dengan keberlanjutan program ini, keadilan sosial yang menjadi ruh utama pembangunan nasional akan semakin terasa nyata di Tanah Papua. Pemerintah Jayawijaya telah menegaskan bahwa perhatian kepada masyarakat tidak mengenal batas jumlah, wilayah, ataupun latar belakang suku. Inilah wujud nyata dari semangat inklusivitas dan kemanusiaan yang menjadi prinsip dasar dalam setiap kebijakan sosial di Indonesia, khususnya di Papua.
*) Pengamat Kebijakan Sosial di Papua
Post Comment